BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan
dengan populasi yang besar. Menurut data Population Reference Bureau,
jumlah penduduknya menempati urutan ke-4 di dunia setelah Cina, India,
dan Amerika Serikat. Dari jumlah yang besar tersebut, mayoritas adalah penganut
agama Islam. Sehingga cukup tepat bila negara beriklim tropis ini disebut
sebagai kekuatan Islam di Asia dan bahkan dunia. Namun dibalik itu semua,
Indonesia tidak pernah sama sekali mengklaim dirinya sebagai negara Islam.
Sebagai bangsa yang majemuk,
Indonesia memiliki keanekaragaman suku, budaya, bahasa, dan agama.
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Indoensia bukanlah
negara berdasarkan agama tertentu. Walaupun demikian, negara ikut terlibat
mengatur urusan umat Islam dan menjadikan ajarannya menjadi komponen penting
dalam peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah urusan zakat dengan
amandemen Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 menjadi Undang-undang Nomor 23
Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Perlukah negara mengambil alih
pengelolaan zakat? Dalam pertanyaan yang lebih “lunak” seberapa jauh harusnya
negara berperan dalam pengelolaan zakat? Pertanyaan ini telah sangat mengusik
banyak lembaga pengumpul dan distribusi zakat serta infak, sedekah, dan wakaf
(ZISWAF).
B. Rumusan
dan Batasan Masalah
Berangkat
dari latar belakang yang ada di atas, dapat dirumuskan beberapa point masalah
yaitu :
a. Peran
Pemerintah dalam rumusan UU No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan ZIS;
b. Urgensi
Negara (pemerintah) dalam pengelolaan ZIS;
c. Peran
Pemerintah dalam Pengelolaan ZIS di Indonesia;
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peran
Pemerintah dalam Rumusan UU No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan ZIS
Pada saat
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat mulai
berlaku, yaitu pada tanggal 25 November 2011:
1.
Semua Peraturan Perundang-undangan tentang
Pengelolaan Zakat dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat.
2.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Sampai sekarang persoalan zakat belum selesai walaupun telah
disahkan undang-undang baru yaitu UU nomor 23 tahun 2011. Dianggap belum
selesai karena, meskipun telah lahir undang-undang baru, tetap saja kesadaran
membayar zakat di kalangan kaum aghniya’ yang seharusnya menjadi muzakki
masih belum berimbang dengan mustahiq-nya. Belum persoalan, zakat tanggung
jawab pemerintah atau individual?
Setelah disahkannya undang-undang no. 23 tahun 2011
ternyata belum dapat menjawab ekspektasi publik tentang meningkatnya
kesejahteraan kaum fuqara’ dan masakin. Padahal, pada saat pengesahan sebagian
anggota DPR menyatakan optimisme-nya akan meningkatnya kesejahteraan rakyat
miskin. Undang-undang ini meskipun sebagai pengganti uu nomer 38 tahun 1999,
sifatnya masih sama yaitu undang-undang tentang pengelolaan zakat. Artinya,
undang-undang ini mengatur “sebatas” pengelolaan zakat dan konsekuensinya dan
belum mengatur pada ranah pembangkangan terhadap zakat. Karena “hanya” mengatur
pengelolaan zakat maka bila ada orang yang enggan membayar zakat maka tidak ada
sanksi apapun.
Apabila zakat dibiarkan menggelinding dengan konsep
ma-syi’tum (semaumu), artinya zakat tidak ada yang mengurusi secara
sungguh-sungguh dan sebenarnya, sementara orang-orang kaya dibiarkan apakah mau
berzakat atau tidak, maka selamanya zakat tidak akan pernah mampu menjawab
problematika yang dihadapi kaum papa. Zakat akan menjadi sebuah slogan kosong
yang tidak ada artinya.
Berbicara mengenai peran dan tanggung jawab pemerintah
tentang pelaksanaan zakat ada baiknya kita menengok kepada sejarah pelaksaan
zakat di masa Rasul. Ketika Rasul mengutus Mu’adz bin Jabal menjadi Qadli di
Yaman, Rasul memberikan wejangan kepadanya supaya menyampaikan kepada ahli
kitab beberapa hal termasuk supaya menyampaikan kewajiban zakat dengan ucapan :
فأعلمهم ان الله افترض عليهم صدقة تؤخذ من اغنيائهم فترد
فى فقرائهم
“sampaikan bahwa Allah telah mewajibkan zakat kepada harta
benda meraka, yang dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada
orang-orang miskin di antara mereka….” (HR. Bukhari)
Kemudian juga hadits yang meriwayatkan bagaimana tindakan
Abu Bakar dalam persoalan zakat sebagaimana hadits berikut :
والله لأقاتلن من فرق بين الزكاة
والصلاة وان الزكاة حق المال
“…..Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang yang
memisahkan shalat dan zakat. Zakat itu kewajiban (pemilik) harta….”(HR. Tirmidzi dan Nasa’i)
Berdasarkan dua hadits tersebut di atas dapat diambil
pengertian,
·
Pertama bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab yang
besar terhadap pensuksesan program zakat. Baik Rasulullah (ketika mengutus
Mu’adz menjadi qadhi di Yaman) maupun Abu Bakar saat menggantikan Rasulullah
menjadi khalifah, sama-sama memiliki komitmen yang tinggi terhadap persoalan
zakat. Bahkan Abu Bakar bersumpah akan memerangi orang-orang yang mengingkari
zakat.
·
Kedua, pemerintah dengan kewenangannya
dapat menjadi kekuatan penekan. Pemerintah juga dapat memaksakan
kehendak terhadap pensuksesan program zakat kepada siapa saja. Hal ini
dicontohkan Abu Bakar yang akan memerangi para pengingkar zakat sebagaimana
tersebut diatas. Dengan melakukan fungsi ini, maka pemerintah telah ikut
tanggung jawab penuh atas zakat.
Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas
muslim. Sehingga sangatlah wajar apabila zakat disosialisasikan dan dikembangkan dengan baik di kalangan
umat Islam. Dalam proses ini pemerintah
dapat memerankan diri sebagaimana yang diperankan Mu’adz dan Abu Bakar.
Barangkali yang sedikit membedakan adalah perangkat hukum yang diperlukan dalam
pelaksanaan zakat. Pada zaman Rasul dan Abu Bakar perangkat hukumnya adalah
Al-Qur’an. Sedangkan pada zaman sekarang diperlukan perangkat hukum lain yang
dapat dijadikan pijakan bertindak. Perangkat hukum lain itu adalah
undang-undang tentang zakat yang berisi tidak saja berupa kewajiban
pelaksanaannya, tetapi juga konsekuensi hukumnya apabila meninggalkannya.
Ada tiga alternatif yang bisa diperankan oleh pemerintah
dalam kaitannya dengan zakat ini yaitu :
1. Pertama, pemerintah dapat memerankan diri
secara penuh antara sebagai penanggung jawab, pelaksana atau pengelola, dan
sekaligus menjadi kekuatan penekan.
2. Kedua, pemerintah hanya menjadi kekuatan
penekan sedangkan yang lainnya diserahkan kepada lembaga swasta.. Atau,
3. ketiga, antara pemerintah dan swasta dalam
posisi yang sama. Hanya dibedakan dalam pengambilan tindakan hukum, pemerintah
dalam posisi sebagai penindak dan pemberi sanksi kepada pengingkar zakat,
sementara lembaga swasta zakat melaporkannya kepada pemerintah.
Satu hal yang sangat urgen adalah lahirnya undang-undang
yang sangat serius memperhatikan kepentingan zakat yang sebenarnya. Karena
namanya “Undang-undang Pengelolaan
Zakat”, maka undang-undang nomor
23 tahun 2011 hanya sebatas pada aturan pengelolaan zakat. Undang –
undang ini tidak mampu menghadapi persoalan pembangkangan terhadap zakat. Dalam
undang-undang ini pula pemerintah bukan merupakan kekuatan penekan untuk
mensukseskan zakat, pemerintah lebih bersifat sebagai pelindung, pembina, dan
pelayan. Maka kedepan diharapkan ada undang-undang yang lebih tegas dan berani,
yang tidak saja mengurus pengelolaan, tetapi juga mengarah kepada pengambilan
tindakan hukum bila ada pembangkangan.
Hal lain yang masih harus diperhatikan adalah, apabila zakat
dibiarkan menggelinding dengan konsep ma-syi’tum (semaumu), artinya zakat tidak
ada yang mengurusi secara sungguh-sungguh dan sebenarnya, sementara orang-orang
kaya dibiarkan apakah mau berzakat atau tidak, maka selamanya zakat tidak akan
pernah mampu menjawab problematika yang dihadapi kaum papa. Zakat akan menjadi
sebuah slogan kosong yang tidak ada artinya. [Kalau sudah begini, pemerintah dengan kekuasaannya sesungguhnya mempunyai
tanggung jawab terhadap persoalan zakat dan implementasinya]
Ingatlah bahwa perintah Allah tentang zakat sangat sederajat
dengan perintah shalat. Maksudnya adalah, ibadah sosial-horisontal mempunyai
kedudukan yang sama penting dengan ibadah vertikal. Firman Allah :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا
الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa
saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada
sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah : 110)
Sementara orang-orang yang bakhil (kikir), enggan membayar
zakat diancam dengan siksa yang menghinakan sebagaimana Firman Allah :
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ
وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ
فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
“(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain
berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada
mereka. Dan k
ami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan” (QS. An-Nisa’ : 37)
ami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan” (QS. An-Nisa’ : 37)
Demikianlah Tanggung
Jawab Pemerintah dan kaitannya dengan UU nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan zakat,[1]
B. Urgensi Negara (pemerintah) dalam
pengelolaan ZIS
Zakat arti
secara bahasa adalah tumbuh dan surplus. Sedangkan arti menurut istilah adalah
bagian harta yang wajib dikeluarkan. Menurut Mazhab Maliki, zakat adalah
mengeluarkan sebagian harta yang telah mencapai nisab (batas tertentu)
kepada para mustahik (orang yang berhak menerimanya) jika telah sempurna
kepemilikannya dan mencapai haul (setahun) kecuali bagi pertambangan dan
hasil pengolahan tanah. Menurut Mazhab Hanafi, zakat adalah mengeluarkan harta
yang wajib ditunaikan sesuai dengan nisab yang diatur kepada orang-orang
tertentu yang telah ditentukan syariat dengan mengharap rida Allah. Sedangkan
menurut Mazhab Syafii, zakat adalah istilah dari bagian harta dan badan yang
dikeluarkan dengan mengharap rida Allah. Selanjutnya menurut Mazhab Hanbali, zakat
adalah harta yang wajib dikeluarkan dari sebagian harta yang dimiliki untuk
golongan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.
Infak berasal
dari kata anfaqa yang berarti ’mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan
sesuatu’. Termasuk ke dalam pengertian ini, infak yang dikeluarkan orang-orang
kafir untuk kepentingan agamanya (lihat QS Al-Anfal:36). Sedangkan menurut
terminologi syariat, infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau
pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.
Jika zakat ada nisabnya, infak
tidak mengenal nisab. Infak dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik
yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun
sempit ( QS. Ali Imran:134). Jika zakat harus diberikan kepada mustahik
tertentu (8 asnaf) maka infak boleh diberikan kepada siapa pun juga, misalnya
untuk kedua orang tua, anak yatim, dan sebagainya ( QS. Al-Baqarah:215).
Sedekah
berasal dari kata shadaqa yang berarti ’benar’. Orang yang suka bersedekah
adalah orang yang benar pengakuan imannya. Menurut terminologi
syariat,pengertian sedekah sama dengan pengertian infak, termasuk juga hukum
dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja, jika infak berkaitan dengan materi,
sedekah memiliki arti lebih luas menyangkut hal yang bersifal non materiil.
Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar, Rasullullah menyatakan bahwa
jika tidak mampu bersedekah dengan harta maka membaca tasbih, membaca takbir,
tahmid, tahlil, berhubungan suami-istri, dan melakukan kegiatan amar ma’ruf
nahi munkar adalah sedekah.[2]
Dalam
sejarah Islam, pemungutan zakat serta pengaturan, pengelolaan dan pengawasannya
dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad dibantu dengan para sahabat. Sehingga
dapat dikatakan bahwa fungsi regulator, operator, dan pengawasan zakat berada
pada diri nabi sebagai pemimpin agama dan negara saat itu. Hal ini sesuai
dengan konteks kalimat khuz dalam QS al-Taubah: 103 yang memerintahkan
nabi dan para pemimpin setelahnya untuk memungut zakat, sehingga memunculkan
makna perlunya kekuasaan dalam mengatur perkara zakat.
Bagi
muslim Indonesia, zakat merupakan perkara ibadah yang tidak terpisahkan dalam
kehidupan mereka. Secara historis, sebelum pemerintah mengeluarkan aturan yakni
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Zakat yang sekarang telah diamandemen
menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, masyarakat sudah melaksanakannya dan
memanfaatkannya dalam upaya mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan
kesejahteraan, sebagai dana pembangunan sarana dakwah, pendidikan, dan sosial.
Begitu pula masyarakat telah membentuk lembaga amil di mesjid, pesantren,
yayasan, bahkan yang profesional seperti Dompet Dhuafa, Al-Azhar Peduli Umat,
Rumah Zakat, dan lain-lain.
Perlukah
negara mengambil alih pengelolaan zakat? Dalam pertanyaan yang lebih “lunak”
seberapa jauh harusnya negara berperan dalam pengelolaan zakat? Pertanyaan ini
telah sangat mengusik banyak lembaga pengumpul dan distribusi zakat serta
infak, sedekah, dan wakaf.[3]
Amandemen
Undang-Undang Pengelolaan Zakat memberikan payung hukum adanya sentralisasi
lembaga zakat melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). BAZNAS merupakan
lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab
kepada Presiden melalui Menteri Agama dan memiliki wewenang melakukan tugas
pengelolaan zakat secara nasional. Sedangkan LAZ yang dibentuk oleh masyarakat
memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
dibawah koordinasi dan pengawasan BAZNAS.
Peran
pemerintah (regulator, operator, pengawas) dalam mengurus zakat justru
dirasakan sebagai kebutuhan hukum dalam masyarakat. Paling tidak ada berbagai
pertimbangan logis dan realistis pentingnya negara mengintervensi dalam
pengelolaan zakat.
1. Pertama, zakat membawa kekuatan imperatif
(kewajiban) pemungutannya dapat dipaksakan. Negara yang mempunyai otoritas
untuk melakukan pemaksaaan seperti halnya pajak, karena negara mempunyai
kekuatan dengan perangkat pemerintahannya, dan didukung regulasi yang mengikat
dana zakat akan mudah terkumpulkan, kemudian dapat menjadi bagian pendapatan
negara seperti halnya pajak.
2. Kedua, besarnya jumlah potensi harta zakat
yang belum tergali secara maksimal mengharuskan menjadi perhatian negara.
Berdasarkan informasi dari Menteri Agama Suryadharma Ali sebelum rapat bersama
DPR tentang RUU Pengelolaan Zakat Infak dan Sodaqoh di Gedung DPR, Senayan,
Jakarta, pada Senin 28 Maret 2011, potensi zakat nasional bisa mencapai 100
triliun. Potensi itu belum bisa terealisasi hingga saat ini. Sebab, kesadaran
masyarakat untuk membayar zakat masih rendah. Hingga saat ini baru tergarap Rp
1,5 triliun. Pada kenyataannya, dana zakat yang berhasil dihimpun dari
masyarakat jauh dari potensi yang sebenarnya. Potensi yang besar itu akan dapat
dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui
departemen teknis pelaksana.
3. Ketiga, agenda besar dihadapi negara hari
ini adalah pengentasan kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS),
jumlah penduduk miskin/penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di
Indonesia pada tahun 2011 sebesar 30,01 juta atau 12,49 %. Potensi zakat yang
sangat besar dapat menjadi alternatif pengentasan kemiskinan. Pengggunaan dana
APBN dan/atau APBD dirasakan belum cukup mengatasi tingginya angka kemiskinan
di negara ini.
4. Keempat, keadilan menjadi bagian prinsip
dasar kenegaraan. Persoalan keadilan dan kesejahteraan umum adalah persoalan
struktural yang tidak mungkin terjangkau secara merata tanpa melibatkan negara.
5. Kelima, pengelolaan zakat oleh negara,
dapat membangun jaringan kerja lebih terarah, semakin mudah berkoordinasi,
komunikasi dan informasi dengan unit pengumpul zakat (LAZ), sehingga
pengentasan kemiskinan semakin terarah, tepat guna dan tidak tumpang tindih dalam
penyaluran dana zakat, kepastian dan mendisipilinkan muzakki (wajib
zakat) membayar zakat ke lembaga semakin terjamin, sekaligus terbangun
konsistensi lembaga pengelola zakat bisa terjaga terus menerus karena sudah ada
sistem yang mengatur.
6. Keenam, pengelolaan zakat yang dilakukan
negara dapat bersinergi dengan semangat otonomi daerah dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat daerah. Peran konkrit Pemerintah Daerah dalam
mekanisme pengelolaan zakat dengan menfasilitasi pembentukan Lembaga Pengelolaan
Zakat (LPZ) di daerah, menetapkan susunan organisasi LPZ sesuai masing-masing
daerah, menempatkan aparatur Pemda sebagai pengurus BAZ, membantu biaya
operasional LPZ daerah setiap tahun. Dana zakat yang terkumpul dari daerah
didistribusikan kembali kepada daerahnya masing-masing.
Meskipun
demikian, pengelolaan zakat sepenuhnya kepada negara memiliki
kelemahan-kelemahan. Buruknya rantai birokrasi di pemerintahan ditambah dengan
kasus-kasus korupsi yang melibatkan oknum pejabat negara menjadikan kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja pemerintah sangat rendah.
Selanjutnya
menurut Azyumardi Azra, secara historis, zakat selama berabad-abad telah
dikelola masyarakat sendiri, entah itu melalui badan/lembaga amil zakat (LAZIS)
yang ada pada setiap organisasi Islam, lewat amil ZIS yang ada di masjid-masjid
dan lingkungan sekitar, serta juga lewat LSM filantropi Islam. Meskipun
pengelolaannya sebagian besar masih konvensional, berkat ZIS itulah ormas-ormas
Islam dapat mendirikan pesantren, madrasah, sekolah Islam, rumah sakit, klinik,
dan bahkan dalam batas tertentu juga operasional ormas-ormas tersebut,
khususnya dengan dana infak, sedekah, hibah, dan seterusnya. Sehingga
pemerintah harus tetap memberikan peran bagi masyarakat sipil untuk terlibat
aktif dalam hal pengelolaan zakat. LAZ yang sudah ada tidak boleh dimatikan
kreativitasnya bahkan seharusnya didukung dengan regulasi yang baik demi
kemaslahatan masyarakat.[4]
C. Peran Pemerintah dalam pengelolaan
ZIS di Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Erie Sudewo (Mantan Presiden
direktur dompet dhuafa), memandang bahwa masih ada sebagian penduduk Indonesia
yang tidak meyakini zakat itu wajib. Bagi mereka zakat harus didasarkan pada
keikhlasan. Tidak ikhlas, sia-sia ibadahnya. Inilah paradoksal di Indonesia.
Fakir miskinnya banyak. Sementara sebagian muzakki tak yakin bahwa zakat itu
wajib. Padahal zakat bukan hanya wajib, namun telah ditetapkan sebagai salah
satu rukun Islam. Zakat tak bisa dikembalikan kepada pribadi masing-masing.
Fikih zakat tak boleh dibiarkan mengambang. Tak bisa zakat tergantung pada
kebaikan hati dan moral muzakki. Sudah saatnya fiqih zakat, statusnya dari
fikih individu diangkat menjadi fikih kemasyarakatan (ekonomi politik dan
sosial). Dengan fikih kemasyarakatan, dana zakat akan terhimpun besar. Cara
lain agar zakat terhimpun besar adalah dengan menerapkan zakat mengurangi
pajak. Ini kebijakan yang hanya negara yang dapat melakukan. Sementara
masyarakat melalui berbagai ormas dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) hanya sekedar
mengadvokasi. Ada manfaat lain dengan kebijakan zakat mengurangi pajak. Yakni
status fikih individu zakat, dengan segera terdongkrak jadi fiqih
kemasyarakatan.
Dalam penghimpunan zakat, ada perbedaan metode yang
berkembang di Indonesia dan Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Di
negeri-negeri jiran ini, penghimpunan cenderung terkoordinasi dan terarah.
Tampak sekali pertumbuhannya dari masa ke masa. Singapura dan Brunei Darussalam
tampaknya punya model serupa, sama-sama terkoordinasi di bawah majelis agama
Islam. Sedang Malaysia punya dua corak berbeda. Ada yang menggunakan PPZ khusus
untuk menghimpun zakat saja dan ada juga yang menggunakan BM (Baitul Maal) guna
menghimpun sekaligus mendayagunakan.[5]
Sebaliknya, di Indonesia peran negara dalam pengelolaan
zakat cenderung bersifat tarik ulur. Tidak hanya dalam pengelolaan zakat.
Kebijakan kesejahteraan sosial secara umum juga bersifat demikian. Pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tahun 1999 ia membubarkan dua
departemen yaitu Departemen Sosial (Depsos) dan Departemen Penerangan (Deppen).
Guru Besar FISIP UI, Alwi Dahlan , menyebutkan bahwa untuk pertama kali
sepanjang sejarah Republik Indonesia, dua dari 12 departemen yang sejak awal
tercantum dalam Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar 1945, tidak lagi terdapat
dalam struktur pemerintahan.
Pembubaran departemen itu menimbulkan berbagai reaksi pro dan kontra. Yang setuju menilai kedua lembaga itu sudah tidak sesuai dengan semangat perkembangan zaman, kurang bermanfaat, terlalu besar, tidak efisien, dan hanya memperberat beban anggaran negara. Pengendalian dan pembinaan oleh Deppen (Departemen Penerangan) seperti selama ini, misalnya, bukan saja tidak lagi diperlukan, tetapi sudah bertentangan dengan kemerdekaan pers. Suatu masyarakat yang demokratis, seperti terlihat di negara maju, tidak memerlukan departemen semacam itu. Masyarakat harus diberdayakan agar mampu mengembangkan pendapat dan mencari informasinya sendiri, tanpa propaganda pemerintah. (Dalam nada yang sama Depsos dikatakan tidak efektif, tidak mendidik masyarakat agar mandiri, dan dianggap hanya membagi santunan atau mengurus izin undian).
Pembubaran departemen itu menimbulkan berbagai reaksi pro dan kontra. Yang setuju menilai kedua lembaga itu sudah tidak sesuai dengan semangat perkembangan zaman, kurang bermanfaat, terlalu besar, tidak efisien, dan hanya memperberat beban anggaran negara. Pengendalian dan pembinaan oleh Deppen (Departemen Penerangan) seperti selama ini, misalnya, bukan saja tidak lagi diperlukan, tetapi sudah bertentangan dengan kemerdekaan pers. Suatu masyarakat yang demokratis, seperti terlihat di negara maju, tidak memerlukan departemen semacam itu. Masyarakat harus diberdayakan agar mampu mengembangkan pendapat dan mencari informasinya sendiri, tanpa propaganda pemerintah. (Dalam nada yang sama Depsos dikatakan tidak efektif, tidak mendidik masyarakat agar mandiri, dan dianggap hanya membagi santunan atau mengurus izin undian).
Terkait dengan pembubaran Departemen Sosial (Depsos), Holil
Sulaiman berpendapat bahwa masalah sosial tidak bisa diserahkan begitu saja
pada masyarakat. Harus ada lembaga negara yang ikut menanganinya, seperti yang
diamanatkan pasal 34 UUD 1945. Sementara itu Suminto berpendapat
pembubaran Depsos itu sama saja dengan pelecehan profesi pekerja sosial. Sudah
selayaknya pemerintah memikirkan suatu lembaga yang bersifat operasional untuk
menggantikan Depsos.
Berdasarkan paradigma
kesejahteraan sosial, langkah pembubaran Departemen Sosial oleh pemerintahan
Gus Dur menyiratkan bahwa ia memilih paradigma kesejahteraan sosial residual.
Negara berperan secara minimalis. Negara berperan dalam kesejahteraan sosial
masyarakat hanya ketika institusi-institusi lain seperti keluarga dan pasar
(market system) mengalami kegagalan. Namun apakah negara Indonesia memang
pantas menganut paradigma kesejahteraan sosial residual ? Sejatinya, sejak awal
pendirian Negara RI, tak jelas memilih pendekatan kesejahteraan sosial yang
mana. Maka, sulit juga untuk menyebut Negara RI sebagai negara kesejahteraan
(welfare state).
Akan halnya pada Undang-Undang Dasar 1945 amandemen 4 menyebutkan
bahwa :
Pasal 23 (A): Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Pasal 23 (A): Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Pasal.34
1. Fakir miskin dan anak-anak telantar
dipelihara oleh negara.
2. Negara mengembangkan sistim jaminan
sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
3. Negara bertanggungjawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pasal 23 A amandemen 4 UUD 45, zakat dapat
diatur dengan Undang-Undang sejauh bersifat memaksa untuk keperluan negara.
Masalahnya adalah apakah zakat termasuk kategori ‘pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara?`, hal ini tentu akan menimbulkan debat
berkepanjangan. Karena sesuai dengan surat At-Taubah ayat 60, zakat dibagikan
kepada delapan golongan (asnaf). Apakah negara termasuk delapan golongan, atau
memiliki peran sebagai amil yang berwenang mengumpulkan dan membagikan zakat
kepada delapan golongan?
Kemudian, terkait dengan Pasal 34 amandemen 4 UUD 45
disebutkan pada ayat (2) bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan. Pasalnya, terkait dengan zakat, Undang-Undang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No. 40 tahun 2004 tak menyebutkan zakat
sebagai salah satu komponen jaminan sosial. Undang-Undang ini hanya mengatur
seputar jaminan sosial yang terkait dengan asuransi sosial seperti jaminan
kesehatan, jaminan terhadap kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun
dan jaminan terhadap kematian. Sebaliknya, apabila zakat dianggap sebagai
instrumen agama yang merupakan bagian dari ibadah dari umat Islam, berlaku
pasal-pasal sebagai berikut :
Pasal 28 E (1) Setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara,
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Pasal.29
1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu
Maka, berdasarkan kedua pasal tersebut, pengumpulan dan
penyaluran zakat harus dikembalikan kepada setiap orang dan setiap orang
memiliki kebebasan untuk melakukan pengumpulan dan penyaluran zakat atas dasar
keyakinan ibadahnya. Hal ini yang antara lain mendasari UU No. 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat di mana pemerintah mengelola zakat melalui Badan Amil
Zakat (Pasal 6), namun juga membuka ruang bagi masyarakat untuk turut mengelola
zakat melalui Lembaga Amil Zakat (pasal 7).[6]
Francis Fukuyama (2005) dalam bukunya State-Building :
Governance and World Order in the 21st Century, menunjukkan bahwa pengurangan
peran negara dalam hal-hal yang memang merupakan fungsinya hanya akan
menimbulkan problematika baru. Bukan hanya memperparah kemiskinan dan
kesenjangan sosial, melainkan pula menyulut konflik sosial dan perang sipil
yang meminta korban jutaan jiwa. Artinya Fukuyama mengatakan bahwa negara harus
diperkuat. Kesejahteraan menurut Fukuyama tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya
negara yang kuat, yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Begitu pula
sebaliknya, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu
menciptakan kesejahteraan warganya.
Pentingnya penguatan negara ini terutama sangat signifikan
dalam konteks kebijakan sosial. Negara adalah institusi yang paling absah yang
memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat, dan karenanya paling
berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya. Benar negara
bukanlah satu-satunya aktor yang dapat menyelenggarakan pelayanan sosial.
Masyarakat, dunia usaha dan bahkan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional
memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pelayanan sosial. Namun, sebagai
salah satu bentuk kebijakan sosial dan public goods, pelayanan sosial tidak
dapat dan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada masyarakat dan pihak
swasta. Oleh karena itu, dalam konteks kebijakan sosial yang berkeadilan, peran
negara dan masyarakat tidak dalam posisi yang paradoksal melainkan dua posisi
yang bersinergi. Bahkan di Indonesia komitmen dan peran negara dalam pelayanan
sosial seharusnya diperkuat dan bukannya diperlemah seperti diusulkan kaum
neoliberalisme pemuja pasar bebas .
Terkait dengan peran negara dalam pengelolaan zakat, Muhammad Hashim Kamali menyebutkan bahwa : Islam proposes a welfare state as is evident from the overall emphasis in the Qur`an and Sunna on helping the helpless, the needy and the poor. As a pilla or the faith, zakat is prescribed in the Qur`an with the specific purposes of ensuring necessary social assistance. Satisfaction of the basic requirements of those who are in need. Muslims, or other, is one of the main purposes for which state revenues, whether from zakat or other taxes and charities, are to be expanded. The Prophet himself as head of state clearly indicated that the state is committed to this purpose.
Terkait dengan peran negara dalam pengelolaan zakat, Muhammad Hashim Kamali menyebutkan bahwa : Islam proposes a welfare state as is evident from the overall emphasis in the Qur`an and Sunna on helping the helpless, the needy and the poor. As a pilla or the faith, zakat is prescribed in the Qur`an with the specific purposes of ensuring necessary social assistance. Satisfaction of the basic requirements of those who are in need. Muslims, or other, is one of the main purposes for which state revenues, whether from zakat or other taxes and charities, are to be expanded. The Prophet himself as head of state clearly indicated that the state is committed to this purpose.
Pendapat Francis Fukuyuma (sebagaimana dikutip oleh Edi
Suharto) dan juga Muhammad Hashim Kamali, menyiratkan bahwa peran negara dalam
kesejahteraan sosial, termasuk dalam pengelolaan zakat memang harus dominan.
Hal ini ditunjang pula oleh kenyataan sejarah dari Sirah Nabawiyah dan
kepemimpinan para khalifah yang memang mengelola langsung zakat dari
masyarakat. Permasalahan kemudian adalah, Indonesia bukanlah negara Islam
kendati penduduknya mayoritas muslim yang bahkan berjumlah terbesar di dunia.
Dasar negara Indonesia juga bukanlah Islam kendati pemerintahannya mayoritas
dipimpin oleh umat Islam. Dalam kondisi seperti ini apakah hukumnya wajib
menyerahkan pengelolaan zakat sepenuhnya kepada penguasa / negara? Muhammad
Rasyid Ridha menafsirkan bahwa ketika pemerintahannya adalah pemerintahan
Islam dan pemimpin-pemimpinnya adalah pemimpin muslim yang amanah maka
pengelolaan zakat sepenuhnya berada di tangan negara. Namun ketika
pemerintahannya bukan pemerintahan Islam kendati pemimpin-pemimpinnya muslim maka
ketentuan tersebut tidak berlaku secara otomatis.[7]
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, secara legal dan konstitusional
negara Indonesia tidak memiliki kewenangan secara mutlak untuk mengelola zakat.
Konstitusi UUD 1945 dan berbagai macam perundang-undangan tidak menyebutkan
secara eksplisit bahwa pemerintah adalah satu-satunya penyelenggara zakat.
Satu hal yang sangat urgen adalah lahirnya undang-undang
yang sangat serius memperhatikan kepentingan zakat yang sebenarnya. Karena
namanya “Undang-undang Pengelolaan Zakat”, maka undang-undang nomor
23 tahun 2011 hanya sebatas pada aturan pengelolaan zakat. Undang – undang
ini tidak mampu menghadapi persoalan pembangkangan terhadap zakat. Dalam
undang-undang ini pula pemerintah bukan merupakan kekuatan penekan untuk
mensukseskan zakat, pemerintah lebih bersifat sebagai pelindung, pembina, dan
pelayan.
Keraguan masyarakat akan kemampuan pemerintah sebagai
regulator, operator, dan pengawas pengelolaan zakat dapat dihilangkan dengan
adanya peran BAZNAS. Orang-orang yang menjadi pengurus di lembaga amil zakat
nasional tersebut harus benar-benar cakap dan amanah. Meskipun ada campur
tangan pemerintah, BAZNAS harus tetap profesional menjalankan tugas dan
wewenangnya.
Fungsi dan wewenang BAZNAS yang sangat besar tidak boleh
memberangus dan memarjinalkan fungsi LAZ yang sudah ada, tetapi harus
mengakomodir keberadaannya sekaligus menjadi mitra yang baik. Begitu pun
sebaliknya, LAZ harus bersikap kooperatif dengan BAZNAS dan menjalankan tugas
secara professional.
Meskipun pemimpinnya mayoritas Islam, maka sentralisasi zakat oleh negara tidak
otomatis dapat dilakukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Muhamad Daud, “system Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf” Jakarta : Universitas
Indonesia Press, 1988
Maarif, Ahmad Syafii, “Islam dan Masalah kenegaraan: studi tentang Percaturan dalam
Konstiuante, Jakarta: LP3S, 1985
Muhammad, Sahri, “Pengembangan
Zakat dan Infaq dalam Upaya meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat” Malang :
Yayasan Pusat Study Avicenna, 1982
http://www.pak-sodikin.com/2012/02/zakat-tanggung-jawab-pemerintah.html
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/08/06/10153781/Apa.Beda.Zakat.Infaq.dan.Sedekah
http://dayatfsh.blogspot.com/2012/03/negara-dan-pengelolaan-zakat.html
http://www.imz.or.id/new/publication/45/
[1]
http://www.pak-sodikin.com/2012/02/zakat-tanggung-jawab-pemerintah.html dikutip tgl 12-04-2012
[2]
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/08/06/10153781/Apa.Beda.Zakat.Infaq.dan.Sedekah.
dikutip tgl 12-04-2012
[3] Ahmad Syafii Maarif, “Islam dan Masalah kenegaraan: studi tentang Percaturan dalam
Konstiuante, (Jakarta: LP3S, 1985) Hlm. 152
[4] http://dayatfsh.blogspot.com/2012/03/negara-dan-pengelolaan-zakat.html
dikutip tgl 12-04-2012
[5] Muhamad Daud Ali, “system Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf” (Jakarta : Universitas
Indonesia Press, 1988) hlm 87
[6] Sahri Muhammad, “Pengembangan Zakat dan Infaq dalam Upaya meningkatkan Kesejahteraan
Masyarakat” (Malang : Yayasan Pusat Study Avicenna, 1982,) hlm. 22
[7]
http://www.imz.or.id/new/publication/45/
dikutip tgl 12-04-2012
No comments:
Post a Comment