Tuesday 1 May 2012

peranan pemerintah dalam pengelolaan ZIS


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan dengan populasi yang besar. Menurut data Population Reference Bureau, jumlah penduduknya menempati  urutan ke-4 di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Dari jumlah yang besar tersebut, mayoritas adalah penganut agama Islam. Sehingga cukup tepat bila negara beriklim tropis ini disebut sebagai kekuatan Islam di Asia dan bahkan dunia. Namun dibalik itu semua, Indonesia tidak pernah sama sekali mengklaim dirinya sebagai negara Islam.
Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki  keanekaragaman suku, budaya, bahasa, dan agama. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Indoensia bukanlah negara berdasarkan agama tertentu. Walaupun demikian, negara ikut terlibat mengatur urusan umat Islam dan menjadikan ajarannya menjadi komponen penting dalam peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah urusan zakat dengan amandemen Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Perlukah negara mengambil alih pengelolaan zakat? Dalam pertanyaan yang lebih “lunak” seberapa jauh harusnya negara berperan dalam pengelolaan zakat? Pertanyaan ini telah sangat mengusik banyak lembaga pengumpul dan distribusi zakat serta infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF).

B.   Rumusan dan Batasan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang ada di atas, dapat dirumuskan beberapa point masalah yaitu :
a.       Peran Pemerintah dalam rumusan UU No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan ZIS;
b.      Urgensi Negara (pemerintah) dalam pengelolaan ZIS;
c.       Peran Pemerintah dalam Pengelolaan ZIS di Indonesia;
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Peran Pemerintah dalam Rumusan UU No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan ZIS
Pada saat  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat mulai berlaku, yaitu pada tanggal 25 November 2011:
1.      Semua Peraturan Perundang-undangan tentang Pengelolaan Zakat dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
2.      Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Sampai sekarang persoalan zakat belum selesai walaupun telah disahkan undang-undang baru yaitu UU nomor 23 tahun 2011. Dianggap belum selesai karena, meskipun telah lahir undang-undang baru, tetap saja kesadaran membayar zakat di kalangan kaum aghniya’ yang seharusnya menjadi muzakki masih belum berimbang dengan mustahiq-nya. Belum persoalan, zakat tanggung jawab pemerintah atau individual?
Setelah disahkannya undang-undang no. 23 tahun 2011 ternyata belum dapat menjawab ekspektasi publik tentang meningkatnya kesejahteraan kaum fuqara’ dan masakin. Padahal, pada saat pengesahan sebagian anggota DPR menyatakan optimisme-nya akan meningkatnya kesejahteraan rakyat miskin. Undang-undang ini meskipun sebagai pengganti uu nomer 38 tahun 1999, sifatnya masih sama yaitu undang-undang tentang pengelolaan zakat. Artinya, undang-undang ini mengatur “sebatas” pengelolaan zakat dan konsekuensinya dan belum mengatur pada ranah pembangkangan terhadap zakat. Karena “hanya” mengatur pengelolaan zakat maka bila ada orang yang enggan membayar zakat maka tidak ada sanksi apapun.
Apabila zakat dibiarkan menggelinding dengan konsep ma-syi’tum (semaumu), artinya zakat tidak ada yang mengurusi secara sungguh-sungguh dan sebenarnya, sementara orang-orang kaya dibiarkan apakah mau berzakat atau tidak, maka selamanya zakat tidak akan pernah mampu menjawab problematika yang dihadapi kaum papa. Zakat akan menjadi sebuah slogan kosong yang tidak ada artinya.
Berbicara mengenai peran dan tanggung jawab pemerintah tentang pelaksanaan zakat ada baiknya kita menengok kepada sejarah pelaksaan zakat di masa Rasul. Ketika Rasul mengutus Mu’adz bin Jabal menjadi Qadli di Yaman, Rasul memberikan wejangan kepadanya supaya menyampaikan kepada ahli kitab beberapa hal termasuk supaya menyampaikan kewajiban zakat dengan ucapan :
 فأعلمهم ان الله افترض عليهم صدقة تؤخذ من اغنيائهم فترد فى فقرائهم
“sampaikan bahwa Allah telah mewajibkan zakat kepada harta benda meraka, yang dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka….” (HR. Bukhari)
Kemudian juga hadits yang meriwayatkan bagaimana tindakan Abu Bakar dalam persoalan zakat sebagaimana hadits berikut :
والله لأقاتلن من فرق بين الزكاة والصلاة وان الزكاة حق المال
“…..Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang yang memisahkan shalat dan zakat. Zakat itu kewajiban (pemilik) harta….”(HR. Tirmidzi dan Nasa’i)
Berdasarkan dua hadits tersebut di atas dapat diambil pengertian,
·         Pertama bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap pensuksesan program zakat. Baik Rasulullah (ketika mengutus Mu’adz menjadi qadhi di Yaman) maupun Abu Bakar saat menggantikan Rasulullah menjadi khalifah, sama-sama memiliki komitmen yang tinggi terhadap persoalan zakat. Bahkan Abu Bakar bersumpah akan memerangi orang-orang yang mengingkari zakat.
·         Kedua, pemerintah dengan kewenangannya dapat menjadi kekuatan penekan. Pemerintah juga dapat memaksakan kehendak terhadap pensuksesan program zakat kepada siapa saja. Hal ini dicontohkan Abu Bakar yang akan memerangi para pengingkar zakat sebagaimana tersebut diatas. Dengan melakukan fungsi ini, maka pemerintah telah ikut tanggung jawab penuh atas zakat.
Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Sehingga sangatlah wajar apabila zakat disosialisasikan dan dikembangkan dengan baik di kalangan umat Islam. Dalam proses ini pemerintah dapat memerankan diri sebagaimana yang diperankan Mu’adz dan Abu Bakar. Barangkali yang sedikit membedakan adalah perangkat hukum yang diperlukan dalam pelaksanaan zakat. Pada zaman Rasul dan Abu Bakar perangkat hukumnya adalah Al-Qur’an. Sedangkan pada zaman sekarang diperlukan perangkat hukum lain yang dapat dijadikan pijakan bertindak. Perangkat hukum lain itu adalah undang-undang tentang zakat yang berisi tidak saja berupa kewajiban pelaksanaannya, tetapi juga konsekuensi hukumnya apabila meninggalkannya.
Ada tiga alternatif yang bisa diperankan oleh pemerintah dalam kaitannya dengan zakat ini yaitu :
1.      Pertama, pemerintah dapat memerankan diri secara penuh antara sebagai penanggung jawab, pelaksana atau pengelola, dan sekaligus menjadi kekuatan penekan.
2.      Kedua, pemerintah hanya menjadi kekuatan penekan sedangkan yang lainnya diserahkan kepada lembaga swasta.. Atau,
3.      ketiga, antara pemerintah dan swasta dalam posisi yang sama. Hanya dibedakan dalam pengambilan tindakan hukum, pemerintah dalam posisi sebagai penindak dan pemberi sanksi kepada pengingkar zakat, sementara lembaga swasta zakat melaporkannya kepada pemerintah.
Satu hal yang sangat urgen adalah lahirnya undang-undang yang sangat serius memperhatikan kepentingan zakat yang sebenarnya. Karena namanya “Undang-undang Pengelolaan Zakat”, maka undang-undang nomor 23 tahun 2011 hanya sebatas pada aturan pengelolaan zakat. Undang – undang ini tidak mampu menghadapi persoalan pembangkangan terhadap zakat. Dalam undang-undang ini pula pemerintah bukan merupakan kekuatan penekan untuk mensukseskan zakat, pemerintah lebih bersifat sebagai pelindung, pembina, dan pelayan. Maka kedepan diharapkan ada undang-undang yang lebih tegas dan berani, yang tidak saja mengurus pengelolaan, tetapi juga mengarah kepada pengambilan tindakan hukum bila ada pembangkangan.
Hal lain yang masih harus diperhatikan adalah, apabila zakat dibiarkan menggelinding dengan konsep ma-syi’tum (semaumu), artinya zakat tidak ada yang mengurusi secara sungguh-sungguh dan sebenarnya, sementara orang-orang kaya dibiarkan apakah mau berzakat atau tidak, maka selamanya zakat tidak akan pernah mampu menjawab problematika yang dihadapi kaum papa. Zakat akan menjadi sebuah slogan kosong yang tidak ada artinya. [Kalau sudah begini, pemerintah dengan kekuasaannya sesungguhnya mempunyai tanggung jawab terhadap persoalan zakat dan implementasinya]
Ingatlah bahwa perintah Allah tentang zakat sangat sederajat dengan perintah shalat. Maksudnya adalah, ibadah sosial-horisontal mempunyai kedudukan yang sama penting dengan ibadah vertikal. Firman Allah :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah : 110)
Sementara orang-orang yang bakhil (kikir), enggan membayar zakat diancam dengan siksa yang menghinakan sebagaimana Firman Allah :
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
“(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan k
ami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan”
(QS. An-Nisa’ : 37)
Demikianlah Tanggung Jawab Pemerintah dan kaitannya dengan UU nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan zakat,[1]

B.   Urgensi Negara (pemerintah) dalam pengelolaan ZIS
Zakat arti secara bahasa adalah tumbuh dan surplus. Sedangkan arti menurut istilah adalah bagian harta yang wajib dikeluarkan. Menurut Mazhab Maliki, zakat adalah mengeluarkan sebagian harta yang telah mencapai nisab (batas tertentu) kepada para mustahik (orang yang berhak menerimanya) jika telah sempurna kepemilikannya dan mencapai haul (setahun) kecuali bagi pertambangan dan hasil pengolahan tanah. Menurut Mazhab Hanafi, zakat adalah mengeluarkan harta yang wajib ditunaikan sesuai dengan nisab yang diatur kepada orang-orang tertentu yang telah ditentukan syariat dengan mengharap rida Allah. Sedangkan menurut Mazhab Syafii, zakat adalah istilah dari bagian harta dan badan yang dikeluarkan dengan mengharap rida Allah. Selanjutnya menurut Mazhab Hanbali, zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan dari sebagian harta yang dimiliki untuk golongan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.
Infak berasal dari kata anfaqa yang berarti ’mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu’. Termasuk ke dalam pengertian ini, infak yang dikeluarkan orang-orang kafir untuk kepentingan agamanya (lihat QS Al-Anfal:36). Sedangkan menurut terminologi syariat, infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.
Jika zakat ada nisabnya, infak tidak mengenal nisab. Infak dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit ( QS. Ali Imran:134). Jika zakat harus diberikan kepada mustahik tertentu (8 asnaf) maka infak boleh diberikan kepada siapa pun juga, misalnya untuk kedua orang tua, anak yatim, dan sebagainya ( QS. Al-Baqarah:215).
Sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti ’benar’. Orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya. Menurut terminologi syariat,pengertian sedekah sama dengan pengertian infak, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja, jika infak berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas menyangkut hal yang bersifal non materiil. Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar,  Rasullullah menyatakan bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta maka membaca tasbih, membaca takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami-istri, dan melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah.[2]
Dalam sejarah Islam, pemungutan zakat serta pengaturan, pengelolaan dan pengawasannya dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad dibantu dengan para sahabat. Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi regulator, operator, dan pengawasan zakat berada pada diri nabi sebagai pemimpin agama dan negara saat itu. Hal ini sesuai dengan konteks kalimat khuz dalam QS al-Taubah: 103 yang memerintahkan nabi dan para pemimpin setelahnya untuk memungut zakat, sehingga memunculkan makna perlunya kekuasaan dalam mengatur perkara zakat.  
Bagi muslim Indonesia, zakat merupakan perkara ibadah yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Secara historis, sebelum pemerintah mengeluarkan aturan yakni Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Zakat yang sekarang telah diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, masyarakat sudah melaksanakannya dan memanfaatkannya dalam upaya mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, sebagai dana pembangunan sarana dakwah, pendidikan, dan sosial. Begitu pula masyarakat telah membentuk lembaga amil di mesjid, pesantren, yayasan, bahkan yang profesional seperti Dompet Dhuafa, Al-Azhar Peduli Umat, Rumah Zakat, dan lain-lain.
Perlukah negara mengambil alih pengelolaan zakat? Dalam pertanyaan yang lebih “lunak” seberapa jauh harusnya negara berperan dalam pengelolaan zakat? Pertanyaan ini telah sangat mengusik banyak lembaga pengumpul dan distribusi zakat serta infak, sedekah, dan wakaf.[3]
Amandemen Undang-Undang Pengelolaan Zakat memberikan payung hukum adanya sentralisasi lembaga zakat melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama dan memiliki wewenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. Sedangkan LAZ yang dibentuk oleh masyarakat memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat dibawah koordinasi dan pengawasan BAZNAS.
Peran pemerintah (regulator, operator, pengawas) dalam mengurus zakat justru dirasakan sebagai kebutuhan hukum dalam masyarakat. Paling tidak ada berbagai pertimbangan logis dan realistis pentingnya negara mengintervensi dalam pengelolaan zakat.
1.      Pertama, zakat membawa kekuatan imperatif (kewajiban) pemungutannya dapat dipaksakan. Negara yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaaan seperti halnya pajak, karena negara mempunyai kekuatan dengan perangkat pemerintahannya, dan didukung regulasi yang mengikat dana zakat akan mudah terkumpulkan, kemudian dapat menjadi bagian pendapatan negara seperti halnya pajak.
2.      Kedua, besarnya jumlah potensi harta zakat yang belum tergali secara maksimal mengharuskan menjadi perhatian negara. Berdasarkan informasi dari Menteri Agama Suryadharma Ali sebelum rapat bersama DPR tentang RUU Pengelolaan Zakat Infak dan Sodaqoh di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Senin 28 Maret 2011, potensi zakat nasional bisa mencapai 100 triliun. Potensi itu belum bisa terealisasi hingga saat ini. Sebab, kesadaran masyarakat untuk membayar zakat masih rendah. Hingga saat ini baru tergarap Rp 1,5 triliun. Pada kenyataannya, dana zakat yang berhasil dihimpun dari masyarakat jauh dari potensi yang sebenarnya. Potensi yang besar itu akan dapat dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui departemen teknis pelaksana.
3.      Ketiga, agenda besar dihadapi negara hari ini adalah pengentasan kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin/penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 30,01 juta atau 12,49 %. Potensi zakat yang sangat besar dapat menjadi alternatif pengentasan kemiskinan. Pengggunaan dana APBN dan/atau APBD dirasakan belum cukup mengatasi tingginya angka kemiskinan di negara ini.
4.      Keempat, keadilan menjadi bagian prinsip dasar kenegaraan. Persoalan keadilan dan kesejahteraan umum adalah persoalan struktural yang tidak mungkin terjangkau secara merata tanpa melibatkan negara.
5.      Kelima, pengelolaan zakat oleh negara, dapat membangun jaringan kerja lebih terarah, semakin mudah berkoordinasi, komunikasi dan informasi dengan unit pengumpul zakat (LAZ), sehingga pengentasan kemiskinan semakin terarah, tepat guna dan tidak tumpang tindih dalam penyaluran dana zakat, kepastian dan mendisipilinkan muzakki (wajib zakat) membayar zakat ke lembaga semakin terjamin, sekaligus terbangun konsistensi lembaga pengelola zakat bisa terjaga terus menerus karena sudah ada sistem yang mengatur.
6.      Keenam, pengelolaan zakat yang dilakukan negara dapat bersinergi dengan semangat otonomi daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Peran konkrit Pemerintah Daerah dalam mekanisme pengelolaan zakat dengan menfasilitasi pembentukan Lembaga Pengelolaan Zakat (LPZ) di daerah, menetapkan susunan organisasi LPZ sesuai masing-masing daerah, menempatkan aparatur Pemda sebagai pengurus BAZ, membantu biaya operasional LPZ daerah setiap tahun. Dana zakat yang terkumpul dari daerah didistribusikan kembali kepada daerahnya masing-masing.
Meskipun demikian, pengelolaan zakat sepenuhnya kepada negara memiliki kelemahan-kelemahan. Buruknya rantai birokrasi di pemerintahan ditambah dengan kasus-kasus korupsi yang melibatkan oknum pejabat negara menjadikan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah sangat rendah.
Selanjutnya menurut Azyumardi Azra, secara historis, zakat selama berabad-abad telah dikelola masyarakat sendiri, entah itu melalui badan/lembaga amil zakat (LAZIS) yang ada pada setiap organisasi Islam, lewat amil ZIS yang ada di masjid-masjid dan lingkungan sekitar, serta juga lewat LSM filantropi Islam. Meskipun pengelolaannya sebagian besar masih konvensional, berkat ZIS itulah ormas-ormas Islam dapat mendirikan pesantren, madrasah, sekolah Islam, rumah sakit, klinik, dan bahkan dalam batas tertentu juga operasional ormas-ormas tersebut, khususnya dengan dana infak, sedekah, hibah, dan seterusnya. Sehingga pemerintah harus tetap memberikan peran bagi masyarakat sipil untuk terlibat aktif dalam hal pengelolaan zakat. LAZ yang sudah ada tidak boleh dimatikan kreativitasnya bahkan seharusnya didukung dengan regulasi yang baik demi kemaslahatan masyarakat.[4]

C.   Peran Pemerintah dalam pengelolaan ZIS di Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Erie Sudewo (Mantan Presiden direktur dompet dhuafa), memandang bahwa masih ada sebagian penduduk Indonesia yang tidak meyakini zakat itu wajib. Bagi mereka zakat harus didasarkan pada keikhlasan. Tidak ikhlas, sia-sia ibadahnya. Inilah paradoksal di Indonesia. Fakir miskinnya banyak. Sementara sebagian muzakki tak yakin bahwa zakat itu wajib. Padahal zakat bukan hanya wajib, namun telah ditetapkan sebagai salah satu rukun Islam. Zakat tak bisa dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Fikih zakat tak boleh dibiarkan mengambang. Tak bisa zakat tergantung pada kebaikan hati dan moral muzakki. Sudah saatnya fiqih zakat, statusnya dari fikih individu diangkat menjadi fikih kemasyarakatan (ekonomi politik dan sosial). Dengan fikih kemasyarakatan, dana zakat akan terhimpun besar. Cara lain agar zakat terhimpun besar adalah dengan menerapkan zakat mengurangi pajak. Ini kebijakan yang hanya negara yang dapat melakukan. Sementara masyarakat melalui berbagai ormas dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) hanya sekedar mengadvokasi. Ada manfaat lain dengan kebijakan zakat mengurangi pajak. Yakni status fikih individu zakat, dengan segera terdongkrak jadi fiqih kemasyarakatan.
Dalam penghimpunan zakat, ada perbedaan metode yang berkembang di Indonesia dan Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Di negeri-negeri jiran ini, penghimpunan cenderung terkoordinasi dan terarah. Tampak sekali pertumbuhannya dari masa ke masa. Singapura dan Brunei Darussalam tampaknya punya model serupa, sama-sama terkoordinasi di bawah majelis agama Islam. Sedang Malaysia punya dua corak berbeda. Ada yang menggunakan PPZ khusus untuk menghimpun zakat saja dan ada juga yang menggunakan BM (Baitul Maal) guna menghimpun sekaligus mendayagunakan.[5]
Sebaliknya, di Indonesia peran negara dalam pengelolaan zakat cenderung bersifat tarik ulur. Tidak hanya dalam pengelolaan zakat. Kebijakan kesejahteraan sosial secara umum juga bersifat demikian. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tahun 1999 ia membubarkan dua departemen yaitu Departemen Sosial (Depsos) dan Departemen Penerangan (Deppen). Guru Besar FISIP UI, Alwi Dahlan , menyebutkan bahwa untuk pertama kali sepanjang sejarah Republik Indonesia, dua dari 12 departemen yang sejak awal tercantum dalam Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar 1945, tidak lagi terdapat dalam struktur pemerintahan.
Pembubaran departemen itu menimbulkan berbagai reaksi pro dan kontra. Yang setuju menilai kedua lembaga itu sudah tidak sesuai dengan semangat perkembangan zaman, kurang bermanfaat, terlalu besar, tidak efisien, dan hanya memperberat beban anggaran negara. Pengendalian dan pembinaan oleh Deppen (Departemen Penerangan) seperti selama ini, misalnya, bukan saja tidak lagi diperlukan, tetapi sudah bertentangan dengan kemerdekaan pers. Suatu masyarakat yang demokratis, seperti terlihat di negara maju, tidak memerlukan departemen semacam itu. Masyarakat harus diberdayakan  agar mampu mengembangkan pendapat dan mencari informasinya sendiri, tanpa propaganda pemerintah. (Dalam nada yang sama Depsos dikatakan tidak efektif, tidak mendidik masyarakat agar mandiri, dan dianggap hanya membagi santunan atau mengurus izin undian).
Terkait dengan pembubaran Departemen Sosial (Depsos), Holil Sulaiman berpendapat bahwa masalah sosial tidak bisa diserahkan begitu saja pada masyarakat. Harus ada lembaga negara yang ikut menanganinya, seperti yang diamanatkan pasal 34 UUD 1945. Sementara itu Suminto berpendapat  pembubaran Depsos itu sama saja dengan pelecehan profesi pekerja sosial. Sudah selayaknya pemerintah memikirkan suatu lembaga yang bersifat operasional untuk menggantikan Depsos.
 Berdasarkan paradigma kesejahteraan sosial, langkah pembubaran Departemen Sosial oleh pemerintahan Gus Dur menyiratkan bahwa ia memilih paradigma kesejahteraan sosial residual. Negara berperan secara minimalis. Negara berperan dalam kesejahteraan sosial masyarakat hanya ketika institusi-institusi lain seperti keluarga dan pasar (market system) mengalami kegagalan. Namun apakah negara Indonesia memang  pantas menganut paradigma kesejahteraan sosial residual ? Sejatinya, sejak awal pendirian Negara RI, tak jelas memilih pendekatan kesejahteraan sosial yang mana. Maka, sulit juga untuk menyebut Negara RI sebagai negara kesejahteraan (welfare state).
Akan halnya pada Undang-Undang Dasar 1945 amandemen 4 menyebutkan bahwa :
Pasal 23 (A): Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Pasal.34
1.      Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara.
2.      Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
3.      Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
4.      Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pasal 23 A amandemen 4 UUD 45, zakat dapat diatur dengan Undang-Undang sejauh bersifat memaksa untuk keperluan negara. Masalahnya adalah apakah zakat termasuk kategori ‘pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara?`, hal ini tentu akan menimbulkan debat berkepanjangan. Karena sesuai dengan surat At-Taubah ayat 60, zakat dibagikan kepada delapan golongan (asnaf). Apakah negara termasuk delapan golongan, atau memiliki peran sebagai amil yang berwenang mengumpulkan dan membagikan zakat kepada delapan golongan?
Kemudian, terkait dengan Pasal 34 amandemen 4 UUD 45 disebutkan pada ayat (2) bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pasalnya, terkait dengan zakat, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No. 40 tahun 2004 tak menyebutkan zakat sebagai salah satu komponen jaminan sosial. Undang-Undang ini hanya mengatur seputar jaminan sosial yang terkait dengan asuransi sosial seperti jaminan kesehatan, jaminan terhadap kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan terhadap kematian. Sebaliknya, apabila zakat dianggap sebagai instrumen agama yang merupakan bagian dari ibadah dari umat Islam, berlaku pasal-pasal sebagai berikut :  
Pasal 28 E (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara, dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Pasal.29
1.      Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
Maka, berdasarkan kedua pasal tersebut, pengumpulan dan penyaluran zakat harus dikembalikan kepada setiap orang dan setiap orang memiliki kebebasan untuk melakukan pengumpulan dan penyaluran zakat atas dasar keyakinan ibadahnya. Hal ini yang antara lain mendasari UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat di mana pemerintah mengelola zakat melalui Badan Amil Zakat (Pasal 6), namun juga membuka ruang bagi masyarakat untuk turut mengelola zakat melalui Lembaga Amil Zakat (pasal 7).[6]
Francis Fukuyama (2005) dalam bukunya State-Building : Governance and World Order in the 21st Century, menunjukkan bahwa pengurangan peran negara dalam hal-hal yang memang merupakan fungsinya hanya akan menimbulkan problematika baru. Bukan hanya memperparah kemiskinan dan kesenjangan sosial, melainkan pula menyulut konflik sosial dan perang sipil yang meminta korban jutaan jiwa. Artinya Fukuyama mengatakan bahwa negara harus diperkuat. Kesejahteraan menurut Fukuyama tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara yang kuat, yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Begitu pula sebaliknya, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu menciptakan kesejahteraan warganya.
Pentingnya penguatan negara ini terutama sangat signifikan dalam konteks kebijakan sosial. Negara adalah institusi yang paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat, dan karenanya paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya. Benar negara bukanlah satu-satunya aktor yang dapat menyelenggarakan pelayanan sosial. Masyarakat, dunia usaha dan bahkan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pelayanan sosial. Namun, sebagai salah satu bentuk kebijakan sosial dan public goods, pelayanan sosial tidak dapat dan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada masyarakat dan pihak swasta. Oleh karena itu, dalam konteks kebijakan sosial yang berkeadilan, peran negara dan masyarakat tidak dalam posisi yang paradoksal melainkan dua posisi yang bersinergi. Bahkan di Indonesia komitmen dan peran negara dalam pelayanan sosial seharusnya diperkuat dan bukannya diperlemah seperti diusulkan kaum neoliberalisme pemuja pasar bebas .
Terkait dengan peran negara dalam pengelolaan zakat, Muhammad Hashim Kamali menyebutkan bahwa :  Islam proposes a welfare state as is evident from the overall emphasis in the Qur`an and Sunna on helping the helpless, the needy and the poor. As a pilla or the faith, zakat is prescribed in the Qur`an with the specific purposes of ensuring necessary social assistance. Satisfaction of the basic requirements of those who are in need. Muslims, or other, is one of the main purposes for which state revenues, whether from zakat or other taxes and charities, are to be expanded. The Prophet himself as head of state clearly indicated that the state is committed to this purpose.
Pendapat Francis Fukuyuma (sebagaimana dikutip oleh Edi Suharto) dan juga Muhammad Hashim Kamali, menyiratkan bahwa peran negara dalam kesejahteraan sosial, termasuk dalam pengelolaan zakat memang harus dominan. Hal ini ditunjang pula oleh kenyataan sejarah dari Sirah Nabawiyah dan kepemimpinan para khalifah yang memang mengelola langsung zakat dari masyarakat. Permasalahan kemudian adalah, Indonesia bukanlah negara Islam kendati penduduknya mayoritas muslim yang bahkan berjumlah terbesar di dunia. Dasar negara Indonesia juga bukanlah Islam kendati pemerintahannya mayoritas dipimpin oleh umat Islam. Dalam kondisi seperti ini apakah hukumnya wajib menyerahkan pengelolaan zakat sepenuhnya kepada penguasa / negara? Muhammad Rasyid Ridha menafsirkan  bahwa ketika pemerintahannya adalah pemerintahan Islam dan pemimpin-pemimpinnya adalah pemimpin muslim yang amanah maka pengelolaan zakat sepenuhnya berada di tangan negara. Namun ketika pemerintahannya bukan pemerintahan Islam kendati pemimpin-pemimpinnya muslim maka ketentuan tersebut tidak berlaku secara otomatis.[7]

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, secara legal dan konstitusional negara Indonesia tidak memiliki kewenangan secara mutlak untuk mengelola zakat. Konstitusi UUD 1945 dan berbagai macam perundang-undangan tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa pemerintah adalah satu-satunya penyelenggara zakat.
Satu hal yang sangat urgen adalah lahirnya undang-undang yang sangat serius memperhatikan kepentingan zakat yang sebenarnya. Karena namanya “Undang-undang Pengelolaan Zakat”, maka undang-undang nomor 23 tahun 2011 hanya sebatas pada aturan pengelolaan zakat. Undang – undang ini tidak mampu menghadapi persoalan pembangkangan terhadap zakat. Dalam undang-undang ini pula pemerintah bukan merupakan kekuatan penekan untuk mensukseskan zakat, pemerintah lebih bersifat sebagai pelindung, pembina, dan pelayan.
Keraguan masyarakat akan kemampuan pemerintah sebagai regulator, operator, dan pengawas pengelolaan zakat dapat dihilangkan dengan adanya peran BAZNAS. Orang-orang yang menjadi pengurus di lembaga amil zakat nasional tersebut harus benar-benar cakap dan amanah. Meskipun ada campur tangan pemerintah, BAZNAS harus tetap profesional menjalankan tugas dan wewenangnya. 
Fungsi dan wewenang BAZNAS yang sangat besar tidak boleh memberangus dan memarjinalkan fungsi LAZ yang sudah ada, tetapi harus mengakomodir keberadaannya sekaligus menjadi mitra yang baik. Begitu pun sebaliknya, LAZ harus bersikap kooperatif dengan BAZNAS dan menjalankan tugas secara professional. Meskipun pemimpinnya mayoritas Islam, maka sentralisasi zakat oleh negara tidak otomatis dapat dilakukan.



DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhamad Daud, “system Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf” Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1988
Maarif, Ahmad Syafii, “Islam dan Masalah kenegaraan: studi tentang Percaturan dalam Konstiuante, Jakarta: LP3S, 1985
Muhammad, Sahri, “Pengembangan Zakat dan Infaq dalam Upaya meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat” Malang : Yayasan Pusat Study Avicenna, 1982
http://www.pak-sodikin.com/2012/02/zakat-tanggung-jawab-pemerintah.html 
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/08/06/10153781/Apa.Beda.Zakat.Infaq.dan.Sedekah
http://dayatfsh.blogspot.com/2012/03/negara-dan-pengelolaan-zakat.html
http://www.imz.or.id/new/publication/45/




[1] http://www.pak-sodikin.com/2012/02/zakat-tanggung-jawab-pemerintah.html  dikutip tgl 12-04-2012
[2] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/08/06/10153781/Apa.Beda.Zakat.Infaq.dan.Sedekah. dikutip tgl 12-04-2012
[3]  Ahmad Syafii Maarif, “Islam dan Masalah kenegaraan: studi tentang Percaturan dalam Konstiuante, (Jakarta: LP3S, 1985) Hlm. 152
[4]  http://dayatfsh.blogspot.com/2012/03/negara-dan-pengelolaan-zakat.html dikutip tgl 12-04-2012
[5]  Muhamad Daud Ali, “system Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf” (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1988) hlm 87
[6]  Sahri Muhammad, “Pengembangan Zakat dan Infaq dalam Upaya meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat” (Malang : Yayasan Pusat Study Avicenna, 1982,) hlm. 22
[7] http://www.imz.or.id/new/publication/45/  dikutip tgl 12-04-2012

No comments:

Post a Comment