BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sejak
dahulu hingga sekarang masih berlangsung kontroversi luas dan sengit tentang
pokok persoalan distribusi pendapatan nasional antara berbagai golongan rakyat
disetiap Negara demokratis di dunia. Hal ini disebabkan kesejahteraan ekonomi
rakyat sangat tergantung pada cara distribusi seluruh pendapatan nasional.
Dikemukakan bahwa teori distribusi hendaknya dapat mengatasi masalah distribusi
pendapatan nasional diantara berbagai kelas rakyat. Terutama ia harus mampu
menjelaskan fenomena, bahwa sebagian kecil orang kaya raya, sedangkan bagian
terbesarnya adalah orang miskin.
Celakanya,
kalangan ahli ekonomi modern menganggap masalah distribusi itu bukan sebagai
masalah distribusi perseorangan, melainkan sebagai masalah distribusi
fungsional. Teori ekonomi modern mengenai distribusi merupakan suatu teori yang
menetapkan harga jasa produksi. Ia berusaha menemukan nilai jasa dari berbagai
faktor produksi.
Dalam
hal ini, teori itu hanya merupakan perpanjangan teori umum penetapan harga.
Barangkali, masalah distribusi perseorangan, dapat dipecahakan dengan cara
sebaik-baiknya, setelah kita menyelidiki masalah pemilikan faktor-faktor
produksi. Teori distribusi factorial atau fungsional membantu kita untuk
menemukan harga jasa yang diberikan oleh bermacam-macam faktor produksi seperti
tanah, tenaga kerja, modal dan organisasi. Tetapi dalam perekonomian kapitalis
mungkin seseorang mendapat sewa. Sebagai seorang pekerja, mungkin dia mendapat
upah, Sebagai seorang kapitalis mungkin dia memperoleh bunga, sebagai seorang
pengusaha mungkin ia menerima laba.
Sekarang
tibalah waktunya untuk menyelidiki bagaimana seseorang mendapatkan penghasilan
dari berbagai sumber dan berbagai kemampuan dalam system perekonomian Islam dan
konvensional.
B. Rumusan
dan Batasan masalah
a.
Definisi
Distribusi dan Kekayaan;
b.
Prinsip Distribusi Pendapatan dan
hubungannya dengan sewa dan upah;
c.
Perbedaan Distribusi pendapatan dalam
perekonomian Islam dan Konvensional;
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Distribusi Pendapatan dan Kekayaan.
Distribusi
atau pembagian adalah klasifikasi pembayaran-pembayaran berupa sewa, upah,
bunga modal dan laba, yang berhubungan dengan tugas-tugas yang dilaksanakan
oleh tanah, tenaga kerja, modal dan pengusaha-pengusaha. Ia adalah proses
penentuan harga yang dipandang dari sudut si penerima pendapatan dan bukanlah
dari sudut si pembayar biaya-biaya. Distribusi juga berarti sinonim untuk
pemasaran (marketing). Kadang-kadang ia dinamakan sebagai functional
distribution.[1]
Namun
demikian, fikih klasik nampaknya hanya menerminologikan tauzii dalam kerangka
pengertian etimologis saja. Secara ad hoc, belum ada pengertian tauzii
yang cukup relevan dengan terma distribusi dalam ekonomi teoritika modern. Hingga kemudian, sebagian ekonom muslim juga
menulis tentang ekonomi islami dan melakukan "adaptasi" terhadap
terminologi-terminologi ekonomi konvensional, seperti yang dilakukan Abdul
Hamid Ghazali (1989 : 79) Muhammad Afar (1996: 32), Umer Chapra (2000: 99), dan
lain-lain. Barangkali inilah pandangan mainstream ekonom muslim pada umumnya
karena bagi mereka konsentrasi teoritis ilmu ekonomi manapun pasti akan
membahas aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya. Belakangan
terminologi redistribusi (I’âdat at Tauzii’) juga digunakan oleh
sebagian ekonom muslim dengan berkaca pada adanya mekanisme zakat, sedekah,
kafarat, belanja wajib yang diterapkan dalam Islam.
·
Pengertian Pendapatan dan Kekayaan
Pendapatan
diartikan sebagai suatu aliran uang atau daya beli yang dihasilkan dari
penggunaan sumber daya properti manusia. Menurut Winardi (1989), pendapatan (income),
secara teori ekonomi adalah hasil berupa uang atau hasil material lainnya yang
dicapai dari penggunaan kekayaan atau jasa-jasa manusia bebas. Dalam pengertian
pembukuan pendapatan diartikan sebagai pendapatan sebuah perusahaan atau
individu.
Sementara
kekayaan (wealth) diartikan oleh Winardi (1989) sebagai segala sesuatu
yang berguna dan digunakan oleh manusia. Istilah ini juga digunakan dalam arti
khusus seperti kekayaan nasional. Sloan dan Zurcher mengartikan kekayaan
sebagai obyek-obyek material, yang ekstern bagi manusia yang bersifat :
berguna, dapat dicapai dan langka. Kebanyakan ahli ekonomi tidak menggolongkan
dalam istilah kekayaan hak milik atas harta kekayaan, misalnya saham, obligasi,
surat hipotik karena dokumen-dokumen tersebut dianggap sebagai bukti hak milik
atas kekayaan, jadi bukan kekayaan itu sendiri.
Dalam
khazanah fikih Islam, padanan yang cukup relevan dengan terma kekayaan dalam
ekonomi adalah harta/mâl atau tsaurah. Dalam mendefinisikannya,
ada dua kecenderungan pakar fikih; (1) sesuatu yang bermanfaat dan bisa diukur;
(2) sesuatu yang berharga dan mesti dijamin/diganti oleh perusaknya. Pengertian
kedua yang merupakan pendapat mainstream pakar hukum Islam, kiranya sesuai
dengan defenisi kekayaan dalam ekonomi konvensional. Dengan kata lain, dalam
perspektif syariah, defenisi kekayaan dalam ekonomi konvensional secara umum
tidak problematis.[2]
B. Prinsip Distribusi Pendapatan dan Hubungannya dengan
Sewa dan Upah dalam Islam
Dengan
komitmen Islam
yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan umat manusia dan keadilan ekonomi
sosial, maka ketidak-adilan dalam hal pendapatan dan kekayaan tentu saja
bertentangan dengan semangat Islam. Ketidak-adilan seperti itu hanya akan
merusak rasa persaudaraan yang hendak diciptakan Islam. Disamping itu, karena
seluruh sumber daya, menurut Qur’an adalah “amanat
Allah kepada seluruh umat manusia” (QS. 2:29), maka tak dibenarkan sama
sekali apabila sumberdaya-sumberdaya tersebut dikuasai oleh sekelompok kecil
manusia saja (monopoli).
Jadi, Islam
menekankan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, hingga setiap individu
memperoleh jaminan serta tingkat hidup yang manusiawi dan terhormat, sesuai
dengan harkat manusia yang inheren dalam ajaran-ajaran Islam, yaitu sebagai
khalifah (wakil) Allah di muka bumi (QS. 2:30).
Suatu
masyarakat Islam yang gagal memberikan jaminan serta tingkat hidup yang
manusiawi tidaklah layak disebut masyarakat Islam, seperti dinyatakan oleh Nabi
saw: “Bukanlah seorang Muslim yang tidur dalam keadaan kenyang sedang
tetangganya lapar” (HR. Bukhari, dalam Shahih-nya, 1:52).
Umar bin
Khathab, Khalifah kedua, ketika menerangkan tentang redistribusi keadilan dalam
Islam, beliau menekankan dalam salah satu pidato umumnya bahwa setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam kekayaan masyarakat, bahwa tak seorang pun,
termasuk dirinya sendiri, yang memiliki hak yang lebih besar dari yang lain.
Bahkan seandainya ia dapat hidup lebih lama, ia akan berusaha
agar seorang gembala yang hidup di atas gunung Shan’a menerima bagian dari
kekayaannya.
Khalifah Ali
bin Abi Thalib diriwayatkan juga telah menekankan bahwa “Allah telah mewajibkan
orang-orang kaya untuk menyediakan kebutuhan orang-orang miskin
dengan selayaknya. Apabila orang-orang miskin tersebut kelaparan, tak punya
pakaian atau dalam kesusahan hidup, maka itu adalah karena orang-orang kaya
telah merampas hak-hak mereka, dan patutlah bagi Allah untuk membuat perhitungan
bagi mereka dan menghukum mereka”.
Para ahli
hukum sepakat bahwa adalah kewajiban bagi masyarakat Islam secara keseluruhan,
khususnya kelompok yang kaya, untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pokok
kaum miskin, dan bila mereka tak mau memenuhi tanggung jawab ini, padahal
mereka mampu, maka negara dapat bahkan harus memaksa mereka untuk memenuhinya. Program
Islam dalam redistribusi kemakmuran terdiri dari tiga bagian:
·
Pertama, seperti telah diuraikan terlebih
dahulu, ajaran-ajaran Islam mencakup pemberian bantuan bagi kaum penganggur dan
pencari pekerjaan supaya mereka memperoleh pekerjaan yang baik, dan pemberian
upah yang adil bagi mereka yang bekerja.
·
Kedua, Islam menekankan pembayaran zakat untuk redistribusi
pendapatan dari kelompok kaya kepada kelompok miskin, yang -karena
ketidakmampuan atau rintangan-rintangan pribadi (kondisi-kondisi fisik atau
mental yang bersifat eksternal, misalnya ketiadaan kesempatan kerja)- tidak
mampu mencapai tingkat hidup yang terhormat dengan usaha sendiri. Hal ini
dimaksudkan agar “kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya
diantaramu saja” (QS. 59:7).
·
Ketiga, pembagian warisan tanah/kebun dari
seseorang yang meninggal, sesuai dengan patokan yang telah ditentukan diantara
sejumlah individu-individu untuk mengintensifkan dan mempercepat distribusi
kekayaan di masyarakat.
Akan tetapi,
konsep keadilan Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan dan konsepsinya
tentang keadilan ekonomi ini tidaklah berarti menuntut bahwa semua orang harus
menerima upah yang sama, tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat.
Islam
mentolerir ketidak-samaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap
orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya kepada masyarakat (QS.
6:165; 16:71; 43:32). Karena itu, keadilan distributif dalam masyarakat Islam,
setelah memberi jaminan tingkat hidup yang manusiawi kepada seluruh warganya
melalui pelembagaan zakat, mengijinkan perbedaan pendapatan yang sesuai dengan
perbedaan nilai kontribusi atau pelayanan yang diberikan, masing-masing orang
menerima pendapatan yang sepadan dengan nilai sosial dari pelayanan yang
diberikannya kepada masyarakat.
Penekanan
Islam terhadap keadilan distributif adalah demikian keras, hingga ada beberapa
orang dari kaum Muslimin yang percaya akan persamaan kekayaan yang mutlak. Abu
Dzar, salah seorang sahabat dekat Nabi, berpendapat bahwa tidaklah halal bagi
seorang Muslim untuk memiliki kekayaan diluar kebutuhan pokok keluarganya.
Tetapi sebagian besar sahabat Nabi tidak setuju dengan pendapat ekstrim ini dan
mencoba mempengaruhinya untuk merubah pendapatnya. (lihat: Tafsir Ibnu Katsir,
tentang QS.9:34).
Tapi Abu Dzar
sendiri juga tidak mendukung persamaan pendapatan. Ia mendukung persamaan dalam
simpanan kekayaan (stock). Ini, katanya, bisa dicapai apabila seluruh kelebihan
dari pendapatan yang telah dipakai untuk keperluan-keperluan pokok (al-’afw)
dipergunakan untuk meningkatkan taraf hidup orang-orang miskin. Akan tetapi
konsensus para ulama Islam adalah bahwa walaupun mereka sangat mendukung
keadilan distributif, namun mereka berpendapat bahwa apabila seorang Muslim
memperoleh penghasilan dengan cara-cara yang halal dan memenuhi kewajibannya
terhadap kesejahteraan masyarakat dengan membayarkan zakat pendapatan dan
kekayaannya, maka tidak ada salahnya ia memiliki kekayaan lebih dari
orang-orang Muslim yang lain.
Akan tetapi,
dalam kenyataan, apabila ajaran-ajaran Islam tentang halal dan haram dalam
pencarian kekayaan ditaati, norma-norma keadilan terhadap kaum buruh dan
konsumen diterapkan, pedoman-pedoman redistribusi pendapatan dan kekayaan
dilaksanakan, dan hukum Islam dalam masalah pembagian warisan diberlakukan,
maka tidak akan ada perbedaan besar dalam pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat
Islam.[3]
a. Sewa
dalam Islam
Sejauh ini
tidak ada bukti bahwa konsep sewa dalam arti istilah modern telah dikembangkan
selama masa hayat Nabi. Barang kali dimasa itu tidak terdapat kekurangan tanah.
Tetapi kebutuhan aknan system tanah yang berlangsung lama dan permanen telah
dirasakan selama khalifah Umar sebagi akibat penaklukkan Irak, Suriah, Iran dan
Mesir. Konsep sewa dalam bentuknya yang sederhana telah berkembang tidak hanya
karena langkah revolusioner Umar dengan larangan pembelian tanah oleh kaum Muslimin
di wilayah yang ditaklukkan, tetapi juga karena dihentikannya praktek
mendistribusikan tanah tklukkan dikalangan kaum Muslimin. Dengan demikian Umar
mengizinkan para penggarap tanah asli untuk mebudidayakan tanah mereka
berdasarkan pembayarn kharaj dan jizyah.
Tetapi
persoalan pokok yang mengganggu pikiran banyak sarjana muslim dan bukan Muslim
bukanlah mengenai apakah konsep sewa berkembang selama khalifah Umar atau pada
suatu periode berikutnya dalam sejarah Islam, tetapi apakah tingkat sewa tetap
yang kelihatannya serupa dengan tingkat bunga masih di perbolehkan dalam Islam.
sebelum menjawab pertanyaan ini akan dibicarakan dengan singkat tentang konsep
modern sewa ekonomik. Menurut Ricardo, sewa adalah bagian hasil tanah yang
dibayarkan kepada tuan tanah untuk penggunaan kekayaan tanah asli dan tak dapat
rusak. Menurut dia sewa adalah sursplus diferensial. Ia merupakan selisih hasil
tanah mutu unggul dengan hasil tanah mutu rendah. Mungkin juga timbulnya sewa
karena kesulitan tanah sehubungan dengan permintaan. Prof. Marshall dengan
tepat mengatakan bahwa perbendaaan antara sewa
diferensial dengan sewa kelangkaan
hanyalah soal perbedaaannya pendekatannya saja. Sewa yang diperoleh sebidang
tanah dapat dianggap sebagai sewa diferensial, jika kita bandingkan hasilnya
dengan hasil sebidang tanah mutu rendah atau marjinal saat kedua bidang tanah
itu di olah dengan alat-alat sejenis. Sebaliknya, sewa yang diperoleh bidang
tanah yang sama dapat dipandang sebagai sewa kelnagkaan, suatu bentuk sewa yang
timbul karena kekurangan penyediaan menyeluruh dibandingkan dengan permintaan
terhadap jenis tanah ini. Tanah mutu unggul memperoleh kelangkaan yang tinggi
karena terbatasnya penyediaan menyeluruh tanah itu dibandingkan dengan permintaan menyeluruh untuk itu.
Kemungkinan lain, tanah mutu unggul memperoleh sewa diferensial yang tinggi
karena perbedaan besar antara hasilnya dibanding dengan hasil tanah mutu
rendah. Sesungguhnya, hakikat pengertian sewa adalah pengertian tentang suatu
sursplus yang diperoleh satu kesatuan khusus faktor produksi yang melebihi
pengahsilan minimum yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya. Secara
historic dan harfiah, pengertian ini sangat dekat dengan gagasan pemberian alam
bebas yang oleh para ahli ekonomi disebut dengan istilah tanah. Karena adanya tanah tidak disebabkan oleh manusia maka dalam
pengertian para ahli ekonomi, seluruh pengahasilan tanah dapat disebut sebagai
sewa. Karena pemberian alam secara Cuma-Cuma, maka tidak diperlukan pembayaran
untuk mengerjakannya.
Tetapi tidak
ada alasan untuk menganggap bahwa sewa dipautkan dengan tanah saja. Satuan
khusus faktor produksi lainnya (seperti buruh modal, dan kewirausahaan) dapat
juga memperoleh sewa, bila saja balas jasa mereka ternyata melebihi jumlah
minimum yang diperlukan untuk mempertahankan faktor itu pada kedudukannya yang
sekarang.[4]
b. Upah
dalam Islam
Marilah
sekarang kita berpaling pada persoalan upah dalam Islam. apakah upah itu? Upah
mengacu pada pengahsilan tenaga kerja. Upah dapat kita pandang dari dua segi
yaitu, moneter dan yang bukan moneter.
Jumlah uang yang diperoleh seorang pekerja selama suatu jangka waktu, katakanlah
sebulan, seminggu, atau sehari, mengacu pada upah nominal tenaga kerja. Upah
sesungguhnya dari seorang buruh tergantung pada berbagai faktor seperti jumlah
upah berupa uang, daya beli uang, dan seterusnya, yang boleh dikatakan terdiri
dari jumlah kebutuhan hidup yang sebenarnya diterima oleh seorang pekerja
karena kerjanya: “pekerja kaya atau miskin, baik atau buruk, sebanding dengan
harga nyata, bukan harga nominal atas jerih payahnya.” (Adam Smith).
Teori upah
yang pada umumnya diterima adalah teori Produk Marjinal. Menurut teori ni upah
ditentukan oleh keseimbangan antara kekuatan permintan dan persediaan. Dengan
mengasumsikan penyediaan tanaga kerja dalam suatu jangka waktu yang panjang dan
konstan, maka permintaan akan buruh dalam suatu kerangka para masyarakat
kapitalis, datang dari majikan yang mepekerjakan
buruh dan faktor produksi lainnya untuk membuat keuntungan dari kegiatan
usahanya. Selama hasil bersih tenaga kerja lebih besar dari tariff upah itu,
majikan akan terus mepekerjakan semakin banyak satuan tenaga kerja. Tentu saja
ia akan berhenti mepekerjakn tenaga kerja tambahan pada batas dimana biaya
mempekerjakan buruh justru sama dengan ( sesungguhnya kurang sedikit
dibandingkan dengan) tambahan yang dilakukannya pada nilai jumlah hasil bersih.
“Masing-masing majikan, seperti halnya masing-masing konsumen, memberi upah
buruh yang akan bernilai sama dengan hasil kerja marjinal dengan tarif upah
yang berlaku. Hal itu merupakan permintaan semua majikan yang terjadi dalam
keseluruhan hubungan dengan persediaan tertentu yang menentukan produk marjinal
tenaga kerja secara keseluruhan dan tarif upah di pasaran.”
Sekalipun
teori produk marjinal mengenai upah, yang telah banyak mendapat kecaman,
dianggap benar, namun hal ini akan tetap abash hanya dalam kondisi persaingan
yang benar-benar. Tetapi dalam dunia yang sesungguhnya, persaingan tidak pernah
murni. Mungkin saja terdapat kurang persaingan
dikalangan para majikan. Sebagaimana diketahui di antara semua komiditi
tenaga kerjalah yang paling tidak tahan lama. Sebaliknya majikan sendiri berada
dalam posisi yang menguntungkan. Prof. Marshall berkata, “ingatlah bahwa
seseorang yang mempekerjakan seribu orang lain, seolah-olah merupakan suatu
gabungan yang ketat dari seribu unit di kalanagn pembeli di pasaran tenaga
kerja.” Disebabkan oleh kelemahan mereka dalam perundingan, maka para pekerja
di bawah kapitalisme mungkin mendapat upah yang jauh lebih rendah dari produk
marjinal mereka.
Pengisapan
terhadap buruh oleh para majikan dilarang oleh Islam. dalam hal ini adalah
membesarkan hati untuk mengutip pernyataan Rasulullah, “manusia tidak berhak atas bagian yang tidak diberikan Tuhan kepadanya,
Tuhan memberikan kepada setiap orang haknya, oleh karena itu jangan mengganggu
apa yang dimiliki orang lain.” Nabi SAW juga mengatakan “upah seorang buruh harus dibayrkan
kepadanya sebelum keringat dalam badannya kering.” Selanjutnya,
diriwayatkan bersumber dari Ibn. Majah bahwa Rasulullah berkata:”kewajiban para majikan hanya menerima
pekerjaaan yang mudah dilakukan oleh para karyawannya. Janganlah mempekerjakan
mereka sedemikian rupa sehingga berakibat buruk bagi kesehatannya.” Pada
kenyataannya, dalam pola seuatu masyarakat Islam, upah yang layak bukanlah suatu
konsesi, tetapi suatu hak asasi, yang dapat dipaksakan oleh seluruh kekuasaan
Negara. Bila reorientasi sikap Negara telah dilaksanakan, maka penetapan upah
dan perumusan produktifitas sesungguhnya hanya merupakan soal penyesuaian yang
tepat. Di Negara Islam di dunia, sangat diperlukan ditegaskannya kembali
cita-cita dinamik yang megatur undang-undang perburuhan, dan menerima prisnsip
hak-hak buruh yang diakui seluruh dunia seperti, hak untuk : mogok, mendapatkan
upah yang layak, jaminan sosial, laba, dan lain-lainnya. Diterimanya hak-hak
ini tidak berarti bahwa pekerja akan mempunyai kebebasan tidak terbatas untuk
melakukan apa saja. Islam mengtuk penyelwangan atau kecurangan dalam
menggelapkan apa pun milik majikan. Nabi SAW dirwayatkan berkata: “penghasilan terbaik ialah penghasilan
seorang pekerja, dengan syarat ia melakukan pekerjaannya dengan hati-hati dan
ia hormat kepada majiakan,” Nagara Islam memiliki wewenang untuk mengekang
kegiatan anti sosial pekerja dalam bentuk apa pun. Sesungguhnya Islam
menhendaki pertumbuhan masyarakat yang berimbang. Untuk ini kompromi antara
buruh dan majikan dianggap sebagai prasyarat yang hakiki. Jika para pekerja dan
majikan diresapi oleh nilai-nilai Islam, larangan terhadap pemogokan dan
ditutupnya temapt-tempat kerja menjadi tidak perlu, dan relative tidak penting.
Sekarang ini, persoalan pokok yang dihadapi Negara-negara Islam bukanlah
bagaimana melarang atau membatasi pemogokan malainkan begaimana menanamkan
nilai-nilai kehidupan Islam dalam hubungan antara buruh dan majikan.[5]
C.
Perbedaan
Distribusi Pendapatan Dalam Perekonomian Islam dan Konvensional
Dr. Yusuf
Qardhawi menjelaskan distribusi dalam ekonomi kapitalis terfokus pada pasca
produksi, yaitu pada konsekuensi proses produksi bagi setiap proyek dalam
bentuk uang ataupun nilai, lalu hasil tersebut didistribusikan pada
komponen-komponen produksi yang berandil dalam memproduksinya, yaitu empat
komponen berikut:
1.
Upah, yaitu upah bagi para pekerja, dan
sering kali dalam hal upah, para pekerja diperalat desakan kebutuhannya dan
diberi upah di bawah standar.
2.
Bunga, yaitu bunga sebagai imbalan dari uang
modal (interest on capital) yang diharuskan pada pemilik proyek.
3.
Ongkos, yaitu ongkos untuk sewa tanah yang
dipakai untuk proyek; dan
4.
Keuntungan, yaitu keuntungan (profit) bagi
pengelola yang menjalankan praktek pengelolaan proyek dan manajemen proyek, dan
ia bertanggung jawab sepenuhnya.
Akibat dari perbedaan komposisi andil dalam produksi yang
dimiliki oleh masing-masing individu, berbeda-beda pula pendapatan yang didapat
oleh masing-masing individu. Islam menolak butir kedua dari empat unsur
tersebut di atas, yaitu unsur bunga. Para ulama Islam telah sepakat dan
lembaga-lembaga fiqih –termasuk MUI juga telah mengeluarkan fatwa– bahwa setiap
bentuk bunga adalah riba yang diharamkan. Adapun ketiga unsur
yang lain, Islam membolehkannya jika terpenuhi syarat-syaratnya dan terealisasi
prinsip dan batasan-batasannya.
Sedangkan dalam ekonomi sosialis, produksi berada dalam
kekuasaan pemerintah dan mengikuti perencanaan pusat. Semua sumber produksi
adalah milik negara. Semua pekerja berada dalam
kekuasaan dan rezim negara. Prinsip dalam distribusi pendapatan dan kekayaan
adalah sesuai apa yang ditetapkan oleh rakyat yang diwakili oleh negara dan
tidak ditentukan oleh pasar. Negara adalah yang merencanakan produksi nasional.
Negara pula yang meletakkan kebijakan umum distribusi dengan segala macamnya
baik berupa upah, gaji, bunga, maupun ongkos sewa.
Kaum sosialis mengecam masyarakat kapitalis karena di dalam
masyarakat kapitalis kekayaan dan kemewahan hanya dikuasai oleh sekelompok
orang, sedangkan mayoritas masyarakat adalah kaum miskin. Mereka menaruh
perhatian pada produksi barang-barang perelengkapan dan barang-barang mewah
yang merealisasikan kaum kaya dengan keuntungan yang tinggi bagi para pemilik modal,
produksi prabotan mewah, alat-alat kecantikan, dan berbagai macam barang
kemewahan tanpa menaruh perhatian pada pemenuhan kebutuhan masyarakat luas yang
kebanyakan dari kaum fakir. Kadang kala mereka memproduksi barang-barang yang
bermanfaat seperti gandum, susu dan lainnya tetapi jika harganya anjlok, maka
mereka spontan tidak segan-segan memusnahkannya dengan melemparkannya ke laut
atau membakarnya agar harganya tetap mahal seperti yang diinginkannya.
Dalam kekuasaan sistem kapitalis barlangsung praktek-praktek
monopoli yang sangat besar dan mengerikan. Kadang kala menjadi perusahaan yang
bergerak dalam berbagai macam jenis usaha samapai sebagian perusahaan tersebut
menjadi sebuah negara dalam negara, yang tidak tunduk pada pemeintahan
setempat. Bahkan memaksa pemerintahan setempat tunduk kepada kemauan dan
kepentingan mereka dengan melakukan penyuapan secara jelas dan memuaskan.
Dengan demikian tidak seorang pun yang dapat memaksa mereka membuat suatu jenis
produksi dan menentukkan jumlah keuntungan karena mereka sendiri yang mengatur
dan menentukkan produksi dan harga.
Kritik kaum sosialis terhadap kaum kapitalis tersebut memang
benar. Tetapi, mereka memerangi kebatilan dengan hal yang lebih batil darinya.
Mereka berlindung di bawah kekuasaan sosialisme dari monopoli kapitalisme
kepada monopoli yang lebih buruk dan lebih parah, yaitu monopoli negara yang
menguasai semua sarana produksi seperti tanah, pabrik, dan ladang-ladang
penambangan. Negara menguasai keuntungan dan tidak dikembalikan –seperti pengakuan
mereka – kepada para buruh (pekerja) yang memimpikan surga yang dijanjikan
untuk mereka dalam bayang-bayang sistem sosialisme.
Sosialisme tidak dapat menghapuskan jurang perbedaan yang
dikenal di dalam kapitalisme. Bahkan, di dalam sosialisme terdapat perbedaan
yang mengerikan dalam soal upah antara dua batas; maksimum dan minimum mencapai
perbandingan (1-50) yaitu gaji tertinggi sama dengan lima puluh kali lipat dari
gaji kecil.
Ekonomi Islam terbebas dari kedua kedhaliman kapitalisme dan
sosialisme. Islam membangun filosofi dan sistemnya di atas pilar-pilar yang
lain, yang menekankan pada distribusi para produksi, yaitu pada distribusi
sumber-sumber produksi, di tangan siapa kepemilikannya? Apa hak-hak, dan
kewajiban-kewajiban atas kepelikan? Hal ini bukan berarti Islam tidak menaruh
perhatian kepada kompensasi produksi. Ia memperlihatkannya juga sebagaimana
kita lihat dalam perhatiannya terhadap pemenuhan hak-hak pra pekerja dan upah
mereka yang adil setimpal dengan kewajiban yang telah mereka tunaikan.
Distribusi dalam ekonomi Islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang
sangat mendasar dan penting yaitu: nilai kebebasan dan nilai keadilan.
Pembayaran sewa tidak bertentangan dengan jiwa Islam Kedua,
perbedaan upah akibat bakat dan kesanggupan diakui oleh Islam. Syarat
pokoknya adalah majikan tidak mengisap para pekerja dan mereka harus membayar
haknya. Ketiga, terdapat kontroversi antara riba dan bunga. Tapi bila
arti riba dipandang dalam perspektif sejarahnya tampaknya tidak terdapat
perbedaan antara riba dan bunga. Keempat, Islam membolehkan laba biasa
bukan laba monopoli atau laba yang timbul dari spekulasi.
Dalam ekonomi sosialis, produksi berada dalam kekuasaan
pemerintah dan mengikuti perencanaan pusat. Semua sumber produksi adalah milik
negara. Semua pekerja berada dalam kekuasaan dan rezim negara. Prinsip dalam
distribusi pendapatan dan kekayaan adalah sesuai apa yang ditetapkan oleh
rakyat yang diwakili oleh negara dan tidak ditentukan oleh pasar. Negara adalah
yang merencanakan produksi nasional. Negara pula yang meletakkan kebijakan umum
distribusi dengan segala macamnya baik berupa upah, gaji, bungan, maupun ongkos
sewa.
Sedangkan dalam ekonomi kapitalis kekayaan dan kemewahan
hanya dikuasai oleh sekelompok orang, sedangkan mayoritas masyarakat adalah
kaum miskin. Mereka menaruh perhatian pada produksi barang-barang perelengkapan
dan barang-barang mewah yang merealisasikan kaum kaya dengan keuntungan yang
tinggi bagi para pemilik modal, produksi prabotan mewah, alat-alat kecantikan,
dan berbagai macam barang kemewahan tanpa menaruh perhatian pada pemenuhan
kebutuhan masyarakat luas yang kebanyakan dari kaum fakir.
Lain hanya, dalam ekonomi Islam menolak butir kedua dari
empat unsur (upah, sewa, bunga, keuntungan), yaitu unsur bunga. ketiga unsur
yang lain, Islam membolehkannya jika terpenuhi syarat-syaratnya dan terealisasi
prinsip dan batasan-batasannya. Ekonomi Islam terbebas dari kedua kedhaliman
kapitalisme dan sosialisme. Islam membangun filosofi dan sistemnya di atas
pilar-pilar yang lain, yang menekankan pada distribusi para produksi, yaitu
pada distribusi sumber-sumber produksi, di tangan siapa kepemilikannya.
memperlihatkannya juga sebagaimana kita lihat dalam perhatiannya terhadap
pemenuhan hak-hak pra pekerja dan upah mereka yang adil setimpal dengan
kewajiban yang telah mereka tunaikan. Distribusi dalam ekonomi Islam didasarkan
pada dua nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting yaitu: nilai
kebebasan dan nilai keadilan.[6]
BAB III
PENUTUP
Dengan demikian,
dalam Islam keadilan distribusi Pendapatan diatur dalam khazanah fiqih/hukum
Islam yang sebenarnya cukup luarbiasa. Namun sayangnya kadangkala akses ke sana
sulit dan komitmen dan political will untuk mengejewantahkannya masih
belum kuat. Di sisi lain, distribusi pendapatan dalam ekonomi konvensional
masih umum digunakan dan tampaknya akan berevolusi menuju titik tertentu,
barangkali adalah instabilitas. Ujar sebagian ekonom konvensional sendiri
seperti Olson and Scully (1982/1988) “income inequality fuels social
discontent and creates political instability.” Wallahu ‘alam.
DAFTAR
PUSTAKA
Mannan,
M.A., “Ekonomi Islam : Teori dan Praktek”
Jakarta: Intermasa, 1992
Nasution, M.E., “pengenalan
eksekutif ilmu Ekonomi Islam” Jakarta:
Kencana Prenada, 2006
Muhammad Hikam, tt, “Distribusi Pendapatan dan kekayaan”
http//asramabanjar.files.wordpress.com/…/distribusi-pendapatan-dan-kekayaan
dikutip tgl 08/11/2011
[1] M.A Mannan, “Ekonomi Islam : Teori dan Praktek” ( Jakarta: Intermasa, 1992)
hlm. 113
[2] www.google.com/asramabanjar.files.wordpress.com/.../distribusi-pendapatan-dan-kekayaan
dikutip tgl 08/11/2011
[3] M.E. Nasution, “pengenalan eksekutif ilmu
Ekonomi Islam” (Jakarta: Kencana Prenada, 2006) hlm .87
[4]
M.A Mannan, op. cit, hlm 113-114
[5] Ibid.,hlm.
115-116
[6] www.google.com/asramabanjar.files.wordpress.com/.../distribusi-pendapatan-dan-kekayaan
dikutip tgl 08/11/2011